Hello!

Tuesday, October 14, 2025

Being happy made you uninspired

Belum lama ini baca artikel pendek tentang bagaimana kesedihan atau duka itu lebih banyak memberikan insipirasi ke penulis daripada hal-hal yang menyenangkan. Katanya, karena waktu bersedih, kita lebih unguarded dan bisa mengakses lebih banyak rasa. Dan rasa itu butuh untuk diluapkan, jadi kayak si otak punya semacam mekanisme supaya hal beratnya keluar dan si manusia merasa lebih "enteng". Dan waktu ngerasa senang, kita sibuk menikmati rasa senangnya jadi ga ngerasa ada yang bisa dituangkan di atas kertas. 

Sebagai orang yang sering membuat coretan sedari dini, bisa dibilang ini valid banget sih. Setiap patah hati, mendadak jadi lebih puitis. Rasanya merangkai diksi lebih mudah waktu lagi berduka. Dan sebetulnya ini berlaku di kerjaan juga sih, taip merasa sedih atau marah, rasanya kerjaan jadi lebih cepat selesai karena lebih fokus. Fokus yang dibuat sebagai pelarian dari rasa marah.

Kok emosi emosi negatif ini rasanya bikin jadi lebih produktif ya? Lalu apa perlu lebih sering sedih, marah, dan patah hati? Ya ampun, berat banget rasanya kalo harus ngalamin itu dulu supaya lebih menghasilkan.

Sebetulnya mungkin ga perlu harus mengalami ya. Mengingat, membayangkan dan mencoba ikut merasakan juga bisa bikin inspirasi buat menulis itu keluar kok. Yang susah itu, revisit the memory without reliving it. How do i do that? Ngebuka diary lama aja rasanya nano nano. Sampai sekarang, ada 1 buku yang masih bikin nangis setiap kali dibuka tapi ga sanggup juga buat dibuang. Sesulit itu buat revisit without reliving it.

I wish, my poetic voice can emerge from peace, nostalgia, and wonder. Not only longing or heartbreak.


No comments:

Post a Comment