TW: SUICIDE CONTENT!
Drama korea terakhir yang baru selesai beberapa hari lalu ternyata masih terngiang-ngiang di kepala sampai hari ini. Mungkin karena kepala dan hatinya juga lagi terasa kosong, jadi ending dramanya yang bahkan udah ketauan sejak episode pertama itu masih kebayang-bayang sampai sekarang dan ngambil satu posisi di pojokan tempat kosong tadi.
Ceritanya tentang 2 cewek, sebut saja si A dan B, yang sahabatan sedari SD dan dinamika pertemanan mereka yang putus nyambung. Sampai akhirnya setelah berantem gede yang terakhir, si B ini tau-tau muncul 10 tahun kemudian dan bilang kalo dia punya kanker stadium akhir. Dengan tidak tau malunya, dia meminta si eks sahabatnya ini untuk nemenin ke Swiss buat mengakhiri hidupnya. Yup, assisted death.
Pertama kali denger istilah ini waktu baca buku Me Before You. Sampai sekarang pun masih ga punya nyali buat nonton adaptasi filmnya karena uda tau endingnya seperti apa. Padahal aku suka banget sama Sam Claflin dan senyum sejuta wattnya. Dan sama juga kayak sekarang, setelah baca buku itu, untuk beberapa waktu ending ceritanya masih kebayang-bayang terus.
Tau ga, cuma di Asia dan Afrika aja yang ga satu negara pun melegalkan eutanasia ke manusia ini. Ga heran ya. Memang hal ini memancing banyak banget perdebatan moral. Who are we to take our own life? Hidup kan pemberian dari yang di Atas. Siapa kita ngerasa punya hak buat ngakhirin hidup itu? Tapi di sisi lain, rasanya aku bisa mengerti kenapa ada orang-orang yang memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Oh, please note, ini beda sama suicide ya. Assisted death is legal. Namanya juga assisted, ada yang bantuin buat kita pergi dengan tenang. Dan hal ini cuma boleh dilakukan oleh mereka yang sakitnya terminal dan tidak ada harapan untuk sembuh atau mereka yang berada dalam kondisi kesakitan yang luar biasa.
Kalo kamu bisa memilih sendiri kapan kamu meninggal, rasanya lebih menenangkan ga sih? Bisa nyelesain dulu hal-hal yang harus diselesain karena udah tau tenggat waktu yang ada.
Gimana dengan aku? Will i do it?
Salah satu pertanyaan yang sering muncul di kepala itu: Gimana kalo suatu hari aku kena sakit parah, divonis sakit kronis yang ga bisa sembuh, dan dibilang cuma punya waktu sekitar 3 bulan? Dulu banget, jawaban pertamaku adalah aku akan menjalani sisa hidup dengan nendang satu per satu bucket list yang aku punya. I will spend every penny to check my wishlist. Dulu banget, waktu masih muda dan sehat. hahaha. Lalu di umur 30an, waktu mulai lebih sering minum Actifed kalo ingusan atau mampir ke Indomaret buat nyetok Woods biar kalo batuk tetap bisa tidur, jawab pertanyaan tadi juga ikut berubah.
How do i survive the pain? Ga mungkin kan sakit kronis tapi ga kesakitan? Setahun terakhir ini, uda 2 strip Alloris yang aku beli. Sesuatu yang dulu ga pernah dilakukan. Kalo ingusan, cuma minum Paramex flu, trus dibawa tidur. It just an allergy, not a big deal. But, how do i survive the pain because of terminal illness? Apalagi menyadari punya mental yang setipis tempe di abang gorengan ini. Boro-boro punya energi dan motivasi buat nendang bucket list satu persatu, i can imagine my self drown in selfpity. lol. Maunya tidur aja, ga mau ngapa-ngapain, ga mau kerja, ga mau ketemu orang. Dan di titik ini, assisted death terdengar tidak begitu buruk.
Tapi, on another note, punya pilihan untuk mendapatkan assisted death itu is a big privilage. Kayak servis kematian lainnya (rumah duka atau pemakaman), aku yakin banget pasti ga murah. Dan karena harus dilakukan di salah satu negara di Eropa, USA, Australia atau New Zealand, jadi tentu ada cost lagi yang harus dikeluarkan. Well, berdasarkan hasil googling, an accompanied suicide di Swiss membutuhkan biaya sekitar 250juta rupiah. Bukan uang kecil, tapi jauh lebih murah dari biaya perawatan kanker selama 1 tahun (kalo ga pakai BPJS).
Kalo di masa depan, aku punya pilihan untuk ini, mungkin akan aku lakukan. Aku akan terbang di bangku first class, aku akan menikmati matahari terbit terakhir dengan pegunungan Alpen sebagai latar belakang, i will live my last day as lively as possible.
Ga tau bagaimana dengan prosedur di negara lain, karena setiap negara punya kebijakan hukum yang berbeda terkait assisted death ini, tapi di Switzerland, yang sudah melegalkan assisted death sejak tahun 1942, jauh sebelum negara lain melegalkan hal yang sama, mengakhir hidup seseorang adalah hal ilegal. Terdengar kontradiktif? Iya, agak. jadi solusinya adalah, you do it by your self. You are the one who will pull the trigger. Karena ini juga, dibanding assisted death, istilah yang lebih sering dipakai di sana adalah accompanied suicide. You are the one who cut your own life line.
Aku pikir, setelah nulis ini, akan terasa lebih ringan. Kayak uda keluarin sebagian kecil isi kepala yang minta dikeluarin, tapi ternyata, kepalanya ringan, tapi hatinya jadi berat. Lol. Mungkin harus dikasih Trigger Warning di awal postingan ini.
Sepenuh hati aku berdoa, semoga aku, kamu, dan semua orang di sekitar kita selalu sehat ya.
Tapi karena masa depan ga ada yang tau gimana juntrungannya, maka mari sekarang kita lebih rajin lagi menabung, apalagi ngeliat kurs Indonesia makin sedih. Ntah duitnya buat contrengin daftar keinginan, atau biaya menyebalkan yang tak terduga atau mungkin buat duduk di penerbangan kelas pertama menuju Switzerland :)
No comments:
Post a Comment